Kompolnas Minta Hukuman Mati Pembunuh Brigadir Nurhadi

Permintaan Hukuman Berat untuk Pelaku Pembunuhan Brigadir Nurhadi
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menyerukan agar tersangka yang terlibat dalam pembunuhan Brigadir Nurhadi dihukum dengan pemberatan. Kejadian tersebut terjadi pada 16 April 2025, ketika korban ditemukan tak bernyawa di kolam renang sebuah villa di Gili Trawangan. Ketua Harian Kompolnas, Choirul Anam, menyampaikan bahwa pihaknya berharap hukuman yang diberikan kepada pelaku benar-benar seberat mungkin.
“Bagi kami, Kompolnas, berharap ini memang harus dipidana seberat-beratnya,” ujar Anam saat diwawancara di Jakarta, Rabu, 9 Juli 2025.
Dalam kasus ini, polisi telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka, yaitu Kompol YPM, Ipda GA, dan seorang perempuan berinisial M. Namun, hingga saat ini, dua tersangka, yakni YPM dan GA, belum ditahan karena dinilai masih kooperatif.
Anam menjelaskan bahwa ada dua dimensi utama yang membuat hukuman terhadap tersangka perlu diberatkan. Pertama, fakta bahwa tersangka merupakan anggota kepolisian yang seharusnya bertugas melindungi masyarakat. Sebagai anggota polisi, mereka diharapkan memahami aturan dan norma hukum terkait tindakan kriminal.
“Sehingga harus ada pemberatan,” tambah Anam.
Sementara itu, dimensi kedua berkaitan dengan korban yang juga merupakan anggota kepolisian. Anam menilai bahwa investasi negara dalam membentuk anggota polisi tidaklah sedikit. Oleh karena itu, nyawa korban tidak boleh dianggap remeh.
“Ya enggak boleh dihilangkan begitu saja nyawanya. Sehingga pelakunya harus dihukum seberat-beratnya,” katanya.
Penyelidikan Kasus yang Perlu Dijelaskan
Anam menekankan pentingnya transparansi dalam penyelidikan kasus ini. Tim penyelidik perlu memastikan penyebab pasti dari kematian korban. Apakah kejadian tersebut terkait perilaku buruk dari para anggota polisi, ataukah ada hubungan dengan tugas korban?
“Apakah memang peristiwanya terkait perilaku? Artinya memang perilaku-perilaku yang tidak baik oleh mereka, oleh para anggota, sampai hilangnya nyawa, ataukah ini peristiwa-peristiwa yang masih ada sangkut pautnya dengan tugas dari anggota tersebut yang menjadi korban?” tanya Anam.
Selain itu, kepolisian juga perlu menentukan klasifikasi hukum dari tindakan yang mengakibatkan kematian korban. Apakah ini hanya penganiayaan hingga korban meninggal, atau bahkan pembunuhan berencana?
“Standing itu juga harus dijelaskan,” ujarnya.
Proses Hukum dan Sidang Etik
Sebelumnya, pada 1 Mei 2025, Polda NTB melakukan ekshumasi makam korban untuk melakukan autopsi. Hasilnya menunjukkan indikasi korban dianiaya. Pada 18 Mei 2025, Kompol YPM dan Ipda GA ditetapkan sebagai tersangka kematian Brigadir Nurhadi. Keesokan harinya, seorang perempuan berinisial M juga ditetapkan sebagai tersangka.
Tidak hanya ditetapkan sebagai tersangka, pada 27 Mei 2025, Kompol YPM dan Ipda GA menjalani sidang etik dan divonis bersalah. Mereka dipecat dengan tidak hormat karena dinilai tidak mencerminkan nilai dan moral anggota Polri. Hal ini menunjukkan bahwa proses hukum dan disiplin internal akan terus dilakukan untuk memastikan keadilan dalam kasus ini.